Equity crowdfunding dimulai dari Undang-undang JOBS (Jumpstart Our Business Startup) di Amerika, atau kalau di Indonesia, POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) Nomor 37 / POJK 04/ 208 tentang Layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis Teknologi Informasi atau Equity Crowdfunding memberikan kesempatan bagi semua warga negara untuk melakukan investasi 100 ribu profit harian di perusahaan pemula.
Adanya UU urun dana atau equity crowdfunding ini menciptakan peluang bagi para perusahaan pemula / startup untuk mengumpulkan modal yang sangat dibutuhkan dengan cara menggunakan platform crowdfunding Indonesia. Pada dasarnya, UU JOBS / POJK No 37 memudahkan perusahaan tahap awal dan pemula untuk mengakses modal dengan memodifikasi aturan dan batasan tertentu.
Kenapa Harus Ada Crowdfunding / Urun Dana
Secara simple adalah karena, Usaha Kecil Menengah (UKM) yang merupakan mayoritas dari bisnis, memberikan efek sangat besar kepada negara, tetapi mayoritas masyarakat (yang tidak memiliki akreditasi) tidak bisa berinvestasi ke UKM sebelum mekanisme equity crowdfunding diakomodasi di dalam undang-undang.
Dengan diakomodasikannya equity crowdfunding lewat undang-undang (POJK 37/Jobs Act) maka akan membuka sumber dana / permodalan baru bagi pebisnis yang pada akhirnya membuka lapangan kerja dan memiliki dampak besar bagi ekonomi.
Terkait sumber pemodalan baru, menurut data di USA, (kita tidak tahu data di Indonesia), dari 318,9 juta masyarakat USA, 233,7 juta adalah investor TIDAK terakreditasi, dan hanya 3,5 juta investor terakreditasi. Dengan adanya aturan equity crowdfunding membuka sumber baru pemodalan bagi UKM sebesar 233,7 juta ini. (Sumber)
Mekanisme Urun Dana / Equity Crowdfunding
Misalnya di kampanye urun dana ini, perusahaan / startup penerbit ingin melakukan penggalangan dana sebesar Rp. 400 juta.
- “Crowd investor” atau “pemodal” memutuskan berinvestasi di kampanye startup tersebut dan melakukan deposit di portal penyelenggara equity crowdfunding Indonesia.
- Perusahaan penyelenggara meneruskan dana tersebut ke startup penerbit.
- Perusahaan / startup penerbit menggunakan dana tersebut untuk berbagai macam penggunaan, sama halnya dengan fundraising dengan cara tradisional.
- Sebagai gantinya, pemodal / investor akan mendapatkan % ownership di perusahaan penerbit.
Sebagai konsep baru dalam investasi 100 ribu hasilkan jutaan rupiah dan dunia pendanaan, equity crowdfunding / urun dana bisa menjadi hal yang beresiko. Beberapa risiko dalam berinvestasi di crowdfunding adalah :
Bisnis yang Anda investasikan bisa saja tutup. Banyak bisnis baru gagal di tahun pertama, jadi Anda bisa kehilangan semua uang Anda.
Tingkat pengembalian tidak dijamin. Saham Anda dari urun dana bisa saja tidak mengalami kenaikan harga dan Anda kemungkinan besar tidak mendapatkan pembayaran dividen (sebagai sharing profit) karena perusahaan berumur muda (apalagi jika technology) biasanya tidak memiliki profit atau menginvestasikan profit ke bisnis mereka kembali.
Kemungkinan sulit menjual saham Anda karena saham ini biasanya tidak di-listing, artinya Anda tidak mudah untuk menjual kembali saham Anda seperti layaknya saham perusahaan besar di pasar saham.
Namun POJK nomor 37 tentang equity crowdfunding / urun dana juga mengatur tentan adanya pasar sekunder supaya para pemodal bisa saling memperjualbelikan saham yang dibeli dari equity crowdfunding.
Peraturan OJK Pasal 32: Pasar Sekunder Pasal 32 (1) Penyelenggara dapat menyediakan sistem bagi Pemodal untuk memperdagangkan saham Penerbit yang telah dijual melalui Layanan Urun Dana yang diselenggarakannya. (2) Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan antar sesama Pemodal yang terdaftar pada Penyelenggara. (3) Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menyediakan harga wajar sebagai referensi penjual dan pembeli; dan b. menyediakan sistem komunikasi bagi Pengguna yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi antar Pengguna untuk membeli atau menjual saham